twitter

Idealnya, seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu. Tetapi kadangkala keadaan "memaksa" seorang ibu membesarkan anak seorang diri. Meski si ibu sudah merawat dan memperhatikan si anak, tapi tetap saja ada dampak psikologis yang akan dialami oleh anak yang dibesarkan tanpa figur ayah, apa saja kah itu ?
Menurut Lifina Dewi, M.PSi, psikolog dari Universitas Indonesia, dampak psikologis yang dihadapi anak dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kepribadian dan gender si anak, serta bagaimana penghayatan si ibu terhadap peran yang dijalaninya.

"Pada anak-anak yang memiliki sifat tegar atau cuek mungkin dampaknya tidak terlalu terlihat, tapi untuk anak yang sensitif pasti akan terjadi perubahan perilaku, misalnya jadi pemurung atau suka menangis diam-diam, hal ini biasanya terjadi pada anak yang orangtuanya bercerai," ujarnya.



Seorang anak laki-laki membutuhkan figur ayah untuk mempelajari hal-hal yang tidak dia dapatkan dari ibunya, begitu pun dengan anak perempuan, ada sesuatu yang dia butuhkan dari kehadiran figur ayah, misalnya bagaimana relasi interpersonal pria dan wanita.
"Setelah remaja atau dewasa, anak-anak ini mungkin saja tumbuh menjadi anak yang permisif, tertutup, pemalu atau justru agresif sekali pada lawan jenis," jelas Lifina. Untuk itu ia menyarankan agar si ibu memperkenalkan dan membiarkan si anak meluangkan waktu bersama pria yang riil, seperti kakek, paman atau teman-teman ibunya sehingga si anak tidak sepenuhnya kehilangan figur ayah.

Penghayatan si ibu
Kesiapan si ibu dalam menjalani perannya sebagai orangtua tunggal juga akan mempengaruhi bagaimana dia bersikap terhadap anaknya. Para ibu yang tidak siap dengan keadaan dan merasa terpaksa menjalaninya akan cenderung menyalahkan kehadiran si anak.
Belum lagi jika si ibu memiliki sifat pencemas dan mudah panik, hal ini tentu saja berpengaruh pada si anak, terlebih anak- anak masih memiliki keterbatasan kemampuan dalam berkomunikasi dan mengekspresikan perasaannya. Di sinilah diperlukan komunikasi terbuka dan kepekaan dari si ibu untuk menggali perasaan si anak dan mencari tahu apa kebutuhan anaknya.

Menjadi orangtua tunggal berarti harus siap menjadi tulang punggung keluarga, tak jarang karena ingin memenuhi kebutuhan finansial, seorang ibu bekerja terlalu keras sehingga tidak punya waktu lagi untuk anak-anaknya.
Jika si anak terlalu akrab dengan pengasuhnya dan menolak Anda peluk atau gendong, mungkin sudah saatnya Anda mengevaluasi kembali prioritas waktu yang Anda jalani selama ini. Memang diperlukan energi dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk memastikan karir, kehidupan pribadi sekaligus kedekatan dengan anak tetap lancar. Tetapi bukankah anak adalah segalanya bagi seorang ibu ?

Tak perlu berbohong
Perlahan tapi pasti, Anda akan sampai pada satu titik di mana si anak akan mempertanyakan di mana ayahnya. Bagi ibu yang bercerai atau menjanda karena suaminya meninggal, tentu tidak akan terlalu sulit menjelaskan. Tetapi si ibu yang memang memilih tidak menikah tentu menghadapi dilema ketika harus menjelaskan pada si anak siapa ayah mereka sesungguhnya.
"Untuk menjawab pertanyaan si anak tentang asal-usulnya, sebaiknya si ibu menyesuaikan dengan usia si anak untuk mencerna," ungkap Lifina. Jika si anak masih balita, carilah media yang ia mengerti untuk masuk ke topik, misalnya saat menonton film animasi katakan, "Barnie dan Spongebob juga tidak punya ayah. Kamu tidak punya ayah, tapi punya mama, kakek, nenek serta om dan tante yang sayang sekali sama kamu."

Tak sedikit para single mom yang memilih melakukan white lie kepada anaknya dengan dalih akan menjelaskan secara jujur jika kelak si anak sudah dewasa. Namun, Lifina menyarankan agar si ibu berkata terus terang kepada anak. Akan lebih baik jika si anak mendengar langsung dari ibunya daripada mendengar bisik-bisik di lingkungannya.

Pihak sekolah juga bisa membantu memberi pemahaman kepada anak-anak bahwa yang dimaksud dengan keluarga tidak selalu terdiri dari ayah dan ibu. Lebih baik lagi jika anak bersekolah di sekolah yang heterogen sehingga ia makin terbiasa dengan perbedaan.
Seorang anak yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu tetapi sang ibu secara konsisten merawat si anak dengan penuh kasih sayang dan tidak menelantarkannya kondisinya jauh lebih baik dibandingkan seorang anak yang besar dalam keluarga yang lengkap tetapi orangtuanya bertengkar setiap hari.
Selengkapnya...

31 Jul 2009 | 0 komentar |

Dunia pendidikan anak, semestinya bersyukur dengan kehadiran Nenno Warisman. Wanita yang sejak usia 7 tahun bergelut dalam dunia sosial ini, tengah berusaha ambil bagian dalam upaya mewujudkan pendidikan anak yang lebih manusiawi, lebih membumi, dan lebih menjanjikan. Dan yang tak kalah penting, “Dapat melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang bisa menjadi teladan kemanusiaan dan masa depan peradaban yang mulia,” harapnya.

Kesadarannya akan dunia pendidikan anak tidaklah sekedar kata. Sejak tahun 1992 melalui Yayasa Kita dan Buah Hati, rasa kepeduliannya kian terasah dan matang. Dengan kegiatannya itu, ia merasa seperti “New Neno” yang aktif sebagai penggiat dan penganjur pendidikan anak dan keluarga. Bahkan dengan segenap kontribusinya di bidang ini, ia kini dicalonkan sebagai Duta resmi untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Bukti lainnya, saat ini wanita yang sibuk memimpin Neno Education & Care (NEC) ini bekerjasama dengan PT Kids tengah diamanahkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam pengerjaan VCD untuk penanggulangan narkotika di kalangan anak. “Dengan cara seperti ini, bukan hanya narkotika saja yang dapat ditangani, melainkan seluruh aspek moral bangsa dapat terselesaikan dengan sendirinya,” ujar penulis buku Izinkan Aku Bertutur ini. Sepertinya, tak berlebihan bila ia menjadi ikon bagi perkembangan dunia pendidikan anak di masa depan.

Selengkapnya...

| 0 komentar |

Dunia anak adalah dunia penuh kesenangan. Begitulah pengertian yang selama ini berlaku. Tentu saja yang menuturkan adalah mereka yang pernah menjadi anak-anak. Seorang anak dengan keluguan dan keceriaannya mengisi dunia. Yang ada di hadapannya hanyalah bermain dan bersenang-senang, lepas dan bebas tanpa beban.

Namun, di balik kesenangan itu, ada pula sisi kelam anak-anak yang mesti ditangkap dan dicermati orangtua. Sisi kelam yang bukan tidak mungkin akan mendominasi sikap sang anak ketika beranjak dewasa nanti. Hal inilah yang diungkap dalam pameran lukisan kontemporer berjudul Off/On karya Wahyu Geiyonk dan Jemi Bilyanto yang digelar di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta.

Pameran yang menampilkan 20 lukisan itu berlangsung sejak 18 Desember hingga 31 Desember dengan kurator M Dwi Marianto. Wahyu Geiyonk atau yang bernama asli Wahyu Muhartono menampilkan total 17 lukisan dalam pameran ini. Semua lukisannya menggambarkan bayi yang sedang terlelap dengan kupu-kupu.

Inspirasi saya peroleh ketika menyaksikan anak saya tertidur, katanya. Dari situ, ia melihat betapa tenang dan damainya seorang bayi kala terlelap. Ketenangan yang sangat indah dan penuh makna, ujarnya.

Adapun kupu-kupu ia gunakan sebagai simbol perjalanan bayi yang sama dengan metamorfosis kupu-kupu. Ketika kupu-kupu keluar dari kepompongnya, ia mewarnai dunia dengan keelokan tubuhnya, begitu juga dengan kelahiran bayi yang mewarnai kebahagiaan suatu keluarga, tuturnya.

Filosofi kupu-kupu juga dipakai untuk mengingatkan kepada orangtua agar merawat dan membimbing anak dengan baik agar kepompong itu bisa berubah menjadi kupu-kupu dan mewarnai kehidupan dunia.

Salah satu karya yang secara kuat mewakili analogi bayi dan kupu- kupu itu terdapat dalam lukisannya yang berjudul My Angel. Di lukisan itu, Wahyu menggambarkan bayi yang tertidur pulas dalam posisi duduk dengan sayap kupu-kupu menempel di punggungnya.

Lukisan Jemi lebih banyak menggambarkan dunia anak-anak dengan segala dinamika dan ekspresinya. Jemi menggabungkan teknik melukis dan grafis dalam 13 karya yang dipamerkannya itu.

Menggunakan warna- warna cerah stabilo, Jemi mencoba memotret dunia anak zaman sekarang yang penuh problem akibat kurangnya afeksi orangtua. Seperti yang terungkap dalam salah satu karyanya yang berjudul Diam untuk Emas. Dalam lukisan ini, Jemi menggambarkan seorang anak yang meletakkan telunjuk di bibirnya pertanda diam. Anak-anak sekarang lebih sering dibungkam oleh orangtuanya ketika ingin bebas berpendapat sehingga mereka terkekang, katanya.

Padahal, Jemi melihat kebebasan berpendapat pada anak justru harus ditumbuhkan karena menyehatkan perkembangan mental dan intelektualitas mereka. Ada pula karya berjudul Permata Hati yang melukiskan senyuman tulus seorang anak ketika dihadiahi mahkota bunga kebun sederhana oleh orangtuanya.

Lukisan ini memberi pesan bahwa anak-anak tidak melulu harus dihadiahi mainan yang mahal-mahal untuk membuatnya bahagia. Menurut Jemi, selama ini orangtua cenderung salah kaprah menyamakan kebahagiaan dengan materi dalam membesarkan anak-anak mereka, dan melupakan sentuhan-sentuhan personal. Padahal, kebahagiaan sejati seorang anak adalah ketika orangtua memberinya perhatian tulus, katanya.

Selengkapnya...

| 0 komentar |