twitter

Pemberitaan besar-besaran mengenai video porno artis tak pelak memang menjadi perbincangan hangat. Dari orang sekelas menteri, obrolan ibu-ibu di kompleks, di sekolah hingga warung kopi, semua membicarakan pesohor yang ada dalam video itu.

Dengarkan saja ketika ibu-ibu di kompleks berkomentar soal itu, atau sekolah yang tiba-tiba ramai merazia telepon genggam milik siswa.



Lantas bagaimana dengan anak-anak? Apakah mereka juga tergelitik ingin mencari tahu? Dan bagaimana sebaiknya membentengi mereka untuk tidak tergoda dengan hal-hal yang bukan diperuntukkan bagi mereka? Beberapa cerita di bawah ini adalah contoh bagaimana tayangan video porno dapat dengan mudah menjadi bagian dari keseharian anak-anak kita.

‘’Saya sampai merinding waktu melihat beritanya di televisi,’’ujar Ny Tia kepada tetangganya. Dia mulai gerah dan khawatir anaknya penasaran dan ingin tahu video syur itu. Maklum, dia mempunyai anak yang baru duduk di bangku SMP.

‘’Saya sampai wanti-wanti sama anakanak. Pokoknya jangan sampe nonton, bisa dosa nanti,’’lanjutnya.

Wanita itu berusaha meyakinkan anaknya bahwa tayangan itu tidak perlu ditonton karena tidak berguna.

‘’Aku juga curiga waktu kemarin lihat Dandy, anak Bu Farhan mainan hape sama teman-temannya. Mereka cekikak-cekikik. Jangan, jangan…,’’ujar Ny Dewi mengungkapkan kecurigaannya pada anak-anak di kompleksnya yang membawa telepon genggam.

Ya, mereka pantas untuk risau karena siapa yang bisa menjamin bahwa anak-anak mereka terbebas dari gambar-gambar yang tidak semestinya mereka saksikan? Kekhawatiran para ibu tersebut dinilai wajar karena hampir sebagian besar waktu dan aktivitas anak-anak terkadang kurang terpantau.

***

DI tempat lain, seperti biasa, murid-murid sebuah SMPitu mempersiapkan buku di atas meja ketika guru mereka yang terkenal killer memasuki kelas. Di jam kedua pagi itu pelajaran Bahasa Jawa segera dimulai. Tapi suasana hening tiba-tiba menjadi sedikit gaduh ketika sang guru mereka bertanya hal yang membuat siswa di kelas merasa ‘’ditelanjangi’’.

‘’Aku arep takon, sapa sing tau nonton video porno ( Saya ingin tanya, siapa di antara kalian yang pernah nonton video porno)?’’ tanya sang guru, sebut saja Bu Ani, dengan logat Jawa kental. Tak tampak keseriusan di wajahnya.

Beberapa saat, para siswa langsung saling berpandangan dan mencurigai satu sama lain.

Guru itu terus meminta murid-muridnya untuk berani jujur. Beberapa anak mulai tunjuk jari dengan malu-malu. Akhirnya hampir semua siswa mengangkat tangan dan mengacungkan telunjuknya ke atas.

Setelah semua mengaku, sang guru kemudian memberikan penjelasan mengenai dampak negatif menyaksikan hal-hal pornografis. Yang disampaikannya bisa dipahami siswanya.

‘’Saya pakai bahasa Jawa untuk memberi pengertian dan contoh bahwa hal itu tidak baik.’’ Memang, merebaknya video mesum juga membuat guru khawatir. Pasalnya, video bertipe MP4 yang dapat diunduh lewat internet dan disebarkan lewat telepon seluler (ponsel) tersebut telah menjadi konsumsi pelajar.

Menurut Bu Ani, pembahasan tentang pornografi sudah sering dilakukan pihak sekolah. Tapi apa yang dikonsumsi anak-anak tentunya di luar kontrol lembaga pendidikan karena mereka dengan mudah bisa melihat atau mencari di luar jam sekolah.

Pengawasan dan kontrol terhadap anak didik diakui memang sangat sulit. Begitu juga komunikasi orang tua dan guru yang frekuensi pertemuan hanya empat kali dalam setahun, yakni pada saat rapat komite dan pengambilan rapor.

***

KENYATAANNYA, pendididikan anak tidak seluruhnya diserahkan kepada institusi penddikan, karena anak juga bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga sebaliknya.

Pendidikan anak juga bukan melulu menjadi beban orang tua. ‘’Semuanya harus peduli,’’ kata pemerhati pendidikan Nurhadi Susilo Spd.

Keprihatinan atas merebaknya pemberitaan menyangkut peredaran video porno tentu saja dapat merusak mental generasi muda. Karena mendengar atau melihat tayangan itu akan mengganggu dan merusak prestasi belajar siswa.

‘’Dampaknya sangat luar biasa besar. Pemberitaan bertubi-tubi di berbagai media massa itu mendestruksi mental dan moral generasi muda,’’kata Nurhadi yang juga menjabat sebagai Ketua Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia Wilayah Jawa Tengah Dia mengharapkan kalangan media massa berlaku proporsional dalam memberitakan halhal yang sensitif. Sebab, media mempunyai tanggung jawab besar dalam mengarahkan masa depan masyarakat.

‘’Kurang bijaksana bila yang dieksplorasi sisi pornografinya semata,’’katanya.

Upaya preventif pun banyak dilakukan sejumlah sekolah akhir-akhir ini dengan cara merazia telepon genggam milik siswa. Menurutnya, meski cukup bagus sebagai salah satu bentuk terapi kejut , upaya itu kurang efektif.

Anak usia sekolah menggunakan cara-cara lebih lihai. Tidak hanya menonton video mesum lewat ponsel. Banyak cara mereka dapatkan.

‘’Sekolah sebaiknya membuat aturan yang tegas terhadap siswanya. Misalnya, larangan membawa telepon genggam. Itu salah satu hal positif,î.

Sebenarnya, banyak hal bisa dilakukan untuk menjauhkan anak-anak dari hal negatif dengan memberi kebebasan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat dengan pantauan dari orang tua maupun pendidik.

‘’Peran orang tua juga sangat penting untuk menjalin komunikasi dengan anak. Ajak dan bangun komunikasi yang baik dan perhatikan aktivitas anak. Meskipun bisa dibilang orang tua sering overprotected, tapi jika dikemas dengan baik dan terbuka, anak akan mengerti.’’ Seperti halnya yang dilakukan di Boarding

School SMPIT Nurul Islam Tengaran yang membuat ruang internet terbuka yang bisa diakses guru maupun siswa. Namun pihak sekolah membuat aturan bahwa itu untuk kegiatan di luar pelajaran.

`’Jam-jam untuk main game atau Facebook-an hanya seminggu sekali. Anak-anak juga dibiasakan membuka situs-situs yang bermanfaat,”ujar Nurhadi.

Anak juga diajarkan untuk belajar bertanggung jawab atas pilihannya. Misalnya melalui sistem kredit poin yang diberlakukan di sekolah ini. Pelanggaran yang dikompensasi dalam ben tuk kredit poin akan diakumulasi pada waktu tertentu untuk menentukan hukuman bagi yang melanggar. Ancaman bisa dalam bentuk surat peringatan hingga dikembalikan pada orang tua. Itu sanksi yang cukup berat bagi siswa. Tapi dengan cara itu, anak akan terbiasa untuk belajar bertanggung jawab. ‘’Anak belajar mempertanggungjawabkan resiko dari setiap pilihan.

Source: Sosbud

3 Nov 2010 | 0 komentar |

0 komentar:

Posting Komentar